Menelusuri Jejak Perayaan Maulid Nabi

Oleh: Miftahul Arifin*

Maulid Nabi Muhammad Saw merupakan sebuah perayaan yang dilakukan ummat Islam setiap satu bulan selama satu tahun. Hal ini sudah menjadi tradisi sebagian ummat di berbagai belahan dunia, terutama negara tercinta ini.

Peringatan itu tepat pada tanggal dua belas Rabiul Awal, bertepatan dengan momentum bangkitnya semangat dalam diri ummat islam untuk memberikan penghormatan yang setinggi-tingginya atas kelahiran junjungan mereka. Sampai detik ini perbincangan tentang kapan maulid itu muncul terus berbalut pro dan kontra.

Namun demikian, jika ditelusuri dalam kitab sejarah(tarikh) maulid juga ditemukan pada masa sahabat, tabi’in hingga empat imam mazhab. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad merupakan orang- orang yang istiqamah mengagumkan dan mencintai Rasulullah Saw. Mereka juga orang yang gigih dalam mempelajari ajaran yang di bawah Baginda.

Beberapa kalangan berpendapat bahwasanya perayaan maulid Nabi pertama kali muncul pada masa Sholahuddin al Ayyubi pada tahun 1193 M. Ia menganjurkan kaumnya untuk merayakan maulid untuk membangkitkan jihad kaum muslimin.Kala itu, mereka sedang berjuang mengahadapi tentara Salib.

Akan tetapi, pendapat ini masih diperdebatkan sebagian kalangan yang menolak, karena tidak ada bukti kongkret dan bukti sejarah tentang perayaan tersebut.Namun menurut pakar sejarah Islam, perayaan maulid itu muncul pada Dinasti Fatimiyah yang disandarkan pada Fatimah Azzahra.

Terdapat salah satu tokoh sejarahwan Islam yang mengatakan para khilafah Fatimiyah banyak memiliki perayaan sepanjang tahun. Diantaranya Tahun Baru Islam, Maulid Ali, Maulid Nabi, Maulid Hasan dan Husein, Maulid Fatimiyah Azzahra dan lainnya.

Demikian juga, beberapa pakar sejarah ada yang mengatakan bahwa lahirnya maulid pertama kali muncul pada dinasti Fatimiyah. Pemerintahan ini muncul pada tahun 909 M di Tunisia. Kemudian mereka memindahkannya ke Kairo, Mesir.

Akan tetapi, hal itu belum tertuntaskan masih dalam perdebatan. Pasalnya, Ibnu Jubaer ketika melakukan perjalan hajinya melalui Mesir pada tahun 1183 tidak menyebutkan ada kebiasaan maulid disana.

Padahal, saat itu, sudah dua belas tahun dari runtuhnya dinasti Fatimiyah pada tahun 1217, dan beliau masih belum menyebrang dari mesir menuju Jeddah.

Walaupun hal ini masih dalam perdebatan yang belum ada titik terangnya, ulama’ memperbolehkan perayaan maulid tersebut. Jika ada seorang bertanya, apakah nabi pernah menyebut hari kelahirannya mana hadistnya..?

Alangkah baiknya, pertanyaan tersebut tidak ditanyakan kepada orang awam, karena memang bukan kapasitas mereka untuk menjawab pertanyaan yang tidak mereka ketahui. Tapi, coba tanyakan pada orang alim, insyaallah jawabannya sama dengan jawaban para ulama’:

عَنْ اَبِيْ قَتَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ اْلِاثْنَيْنِ ؟ فَقاَلَ ذَلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ اَوْ اٌنْزلَ عَلَيَّ فِيْهِ

Dari Abu Qotadah r.a, sesungguhnya Rosulululloh SAW ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau menjawab : “Hari Senin adalah hari lahirku, hari aku mulai diutus atau hari mulai diturunkannya wahyu”.

Demikian juga, isi dari bacaan berjanji hanyalah suatu pujian kepada orang yang sangat berjasa pada umat Islam. Yakni Rasulullah Muhammad SAW yang telah mengikis umat Islam dari kelamnya jalan lembah jahiliyah menuju alam terang benderang penuh dengan cahaya keilmuan.

Lantas, apakah salah memuji Baginda yang sangat berjasa?.

Padahal, mengangungkan orang tua “saja” adalah suatu keharusan.

*Penulis adalah mahasiswa Prodi BPI angkatan 2021


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *