Oleh: Khozairi Taufiq, S. Hi*
Kreasi manusia sebagai peejawantahan potensi akal terbukti melahirkan karya fenomenal baru secara dinamis perlu dicermati secara normatif dengan memaknai teks secara substantif dan memahami Alquran secara kontekstual, agar dapat menemukan hukum yang valid dan relevan terhadap mas’alatul far’iyah yang berkembang sebagai konsekuensi logis yang timbul kemudian.
Memahami agama lewat teks secara scriptural berakibat umat sering kali tidak sampai pada maksud tuhan yang sebenarnya, sebab Alquran bersifat universal dan banyak mengandung makna inplisit yang tak terungkap. Akibat lebih dekatnya adalah diantara umat saling menyalahkan dan merasa paling benar terhadap apa yang ia baca dan pahami.
Padahal sesungguhnya masih banyak makna-makna tersembunyi yang harus digali dan diungkapkan. Mengingat Alquran sendiri diturunkan secara berangsur-angsur atau berkala, sehingga sangat mungkin banyak nilai- nilai tercecer dikarenakan masih melihat kemampuan manusia waktu itu.
Apalagi cara dan kemauan Alquran dalam merubah komunitas umat bersifat evolutif, berkala dan berlanjut. Tidak terhenti walaupun Nabi Muhammad saw telah meningal. Tugas itu harus terus dijalankan oleh para pewaris beliau yaitu para ilmuan dan cendikiawan.
Menurut Abdallah Darraz (1960), Apabila anda membaca Alquran, maknanya akan jelas dihadapan anda. Tapi jika anda membacanya sekali lagi, anda akan menemukan pula makna- makna lain yang berbeda dengan makna sebelumnya. Demikian seterusnya. Sampal- sampai anda dapat menemukan kata-kata atau kalimat yang punya arti mungkin benar. Ayat dan kalimat Alquran bagaikan intan. Setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut yang lainnya. Dan tidak mustahil bila anda mempersilahkan orang lain melihatnya, ia akan melihat lebih banyak ketimbang apa yang anda lihat dan anda pahami.
Kehadiran Alquran di tengah umat Islam bagaikan “representasi” dari kehadiran Allah dan Rasulnya untuk selalu menyertai mereka. Ayat demi ayat yang disampaikan Rasulullah tidak sekedar dipahami dari segi gramatikal dan keindahan bahasanya, melainkan lebih dalam dan lebih kompleks lagi adalah pengamalannya dalam pribadi-pribadi orang mukmin serta mendialogkan dengan problem nyata dan langsung.
Berbagai bentuk perintah dan larangan dalam Alquran mempunyai implikasi hukum serta tindakan praksis bagi umat Islam. Sehingga dengan begitu, praktis Alquran yang bagaikan lentera bagi orang buta yang berjalan meraba raba tiba-tiba diperlihatkan jalan yang terang benderang.
Pendeknya di masa Rasulullah hidup, ayat-ayat yang diwahyukan selalu menimbulkan dinamika wacana dalam masyarakat. Ayat-ayatnya selalu terlibat dalam sebuah dialog kehidupan secara dinamis dan terbuka (demokratis).
Ayat demi ayat, surat demi surat oleh para sahabat nabi ditafsirkan dengan ayat- ayat kehidupan dan ayat-ayat kosmologis, karena antara Alquran yang tertulis dan terucapkan dan ayat-ayat yang terhampar dalam jagat raya serta ayat-ayat yang terlukis dalam diri manusia, satu sama lain saling menafsirakan dan memberi informasi
Interpretasi dengan ijtihad (AL Tafsir Birro’yi) bisa saja dilakukan asalkan berpijak pada asas yang benar dan kaidah yang baku, tidak hanya hasrat dan opini semata. Dalam hal ini Rasulullah saw memberi warning melalui hadits riwayat Abu Daud.
من قال في القران برعيه فاصاب فقد اخطا
Artinya: Barang siapa yang berkata didalam Alquran dengan pendapatnya sendiri lalu benar, maka dia telah keliru.
Interpretasi teks tidak bisa hanya berdasarkan asumsi dan spekulasi, tapi harus cocok dengan kehendak syari’, jauh dari bodoh dan sesat, mengikuti Qowa id al- Lughat al- Arabiah, berpijak pada sistematika bahasa yang baik dalam memahami nash Alquran, dan bersifat ilmiah dan harus didalami dengan beberapa ilmu pendukung lainnya.
Alhasil, jangan sampai ada tendensi pragmatis dan ambisi sesaat yang mengarah pada justifikasi sesuatu yang salah menurut substansi teks dan menjual ayat Allah yang tidak ternilai harganya.
*Penulis adalah alumni IAI Miftahul Ulum Pamekasan Angkatan 2002