Membaca Zaman; Suatu Upaya Menjaga Eksistensi

Oleh: Bahrur Rosi*

Membaca sejatinya adalah fitrah manusia yang dibawanya sejak pertama kali membuka mata dunia. Kenyataan tersebut adalah kebenaran absolut dan tidak dapat dipungkiri dengan alasan apapun. Tanpa “membaca”, mustahil seorang bayi dapat mengenali ibunya sekalipun. Mustahil, umat mengenal Nabi dan Tuhan-Nya.

Meskipun demikian, tulisan ini bermaksud mengupas lebih komprehensif istilah “membaca” yang sering dipersempit oleh mayoritas masyarakat. Padahal, istilah tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari segala bentuk perilaku dan keseharian manusia itu sendiri. Tentunya dengan satu catatan, “membaca” tidak lagi diartikan sebagai proses mengenal tulisan yang tercoret pada selembar kertas.

Membaca haruslah bermakna suatu upaya mengenal “semuanya”. Termasuk, segala hal yang tergurat pada pecahan puzzle kehidupan secara menyeluruh. Pasalnya, membaca merupakan perintah pertama yang disampaikan Alloh SWT sebagai bekal bagi Rosululloh SAW mengarungi beratnya medan dakwah yang diembannya.

Uniknya, Alloh SWT tidak pernah membatasi objek bacaan yang diperintahkan kepada Rosululloh SAW. Hal tersebut secara eksplisit menyatakan secara tegas bahwa, apapun, siapapun, dimanapun dan kapanpun harus selalu menjadi konten dan media bacaan dengan segala kompleksitasnya.

Demikian pula, buku dan kitab saja tidak akan cukup menjadi rujukan dari berbagai corak keberagaman “jalan hidup” yang tidak bisa diseragamkan. Karenanya, proses “berguru & membaca” harus disandarkan pada objek yang tak terbatas.

Kecerdasan “membaca zaman” merupakan satu-satunya harapan bagi manusia untuk mempertahankan eksistensinya. Kemajuan yang dicapai manusia dari berbagai aspek kehidupan, menyiratkan makna kepada para pelaku kehidupan untuk terus meng-uprade kapasitas diri hingga batas yang tidak mungkin lagi terlampaui.

Secara esensial, tidak mungkin ada kata “tidak bisa” bagi mereka yang benar-benar “membaca”. Hanya saja, kecenderungan merasa “cukup” akan pengetahuan menjadi tantangan tersendiri bagi setiap individu. Bahkan, kebiasaan tersebut menjadi problem disetiap generasi manusia.

Penyebabnya, bukan karena rasa tidak percaya pada kebenaran absolut yang di firmankan Tuhan. Tapi lebih diakibatkan sifat materialis dan pragmatis yang cenderung memandang segala sesuatu dengan “mata telanjang”.

Padahal, sesuatu yang abstrak berkali-kali lipat dari jumlah suatu yang kongkrit. Naif rasanya, manakala hadiah kecerdasan yang dianugerahkan Tuhan harus terbuang percuma karena ketidak mampuannya mengamini fiman-Nya.

Wallahu A’lam Bisshowab

Prototipe Da’i Peka Zaman

Rosululloh SAW merupakan seorang da’i strategis yang memiliki jejak langkah kharismatik dan elegan di setiap zaman. Beliau mampu menghadirkan corak dakwah yang terus menemukan relevansinya dengan model dakwah kekinian. Model dakwah beliau tidak pernah usang dan selalu menjadi rujukan sempurna bagi para pengikutnya sampai kapanpun.

Secara garis besar, dakwah Rosululloh terbagi dalam dua periode, periode Mekah dan periode Madinah. Namun demikian, kedua periode tersebut memiliki corak yang khas yang menggambarkan kepiawaian Rosululloh dalam merespon situasi pelik ditengah-tengah amburadulnya tatanan kehidupan bangsa Arab saat itu.

Rosululloh SAW mampu membuktikan sebagai sosok Ulul Azmi yang tidak hanya memiliki kesabaran tingkat tinggi. Beliau juga memiliki kecermatan yang sangat teruji dalam mengambil kebijakan tentang dakwah yang diembannya.

Rosululloh SAW bisa tampil sebagai pribadi yang sangat tenang ketika tekanan kafir Quraisy tak terbendung. Beliau mampu menjadi sosok teladan bagi sahabat-sahabatnya yang terkungkung dalam penindasan tak berkesudahan.

Akan tetapi, dibalik ketenangan beliau, tertanam keberanian untuk selalu memegang teguh tanggung jawab yang diamanatkan oleh Tuhan-Nya. Meskipun tidak tampak “sangar” bagaikan Sayyidina Umar bin Khattab, Sayyidina Hamzah Bin Abdul Muthalib dan Sayyidina Zubair bin Awam, Tapi beliau adalah sosok pemberani yang sebenarnya.

Beliau secara tegas berani memperjuangkan nasib kaum dhuafa yang diperlukan sewenang-wenang pembesar Quraisy. Beliau pula yang berdiri di garda terdepan menentang perdudakan yang telah mendarah daging dalam diri kafir Quraisy.

Bahkan, beliau bersama keluarganya, Sayyidah Khadijah rela hidup dalam keterbatasan demi berbagi “sesuap nasi” demi bertahan hidup ketika mendapat boikut besar-besaran dari kafir Quraisy. Padahal, bisa saja beliau hidup serba berkecukupan bersama keluarganya. Namun, label saudagar kaya yang disematkan pada istrinya, sama sekali tidak membatalkan niat suci beliau sebagai pembawa risalah.

Demikian pula, kamatangan belaiu selalu menjadi penuntun setiap kebijakan yang tercermin dalam setiap keputusan yang diambilnya. Tak heran, beliau mampu bertahan hingga 13 tahun lamanya dalam ketidak pastian saat periode dakwah di Mekkah.

Beliau selalu mampu menghadirkan solusi kreatif menghadapi keterbatasan gerak akibat tekanan bertubi-tubi dari kaum Quraisy. Andai, beliau menuruti gaya sahabat-sahabatnya untuk berdakwah dengan cara “menentang”, boleh jadi saat ini, Islam hanyalah sebuah Agama yang tinggal nama.

Beruntung, Rosululloh SAW melalui menampilkan kepiawaian seorang pemimpin sejati. Strategi yang dilakukan beliau sangat efektif meredam keberingasan para penentangnya. Disamping, “suara langit” yang senantiasa menuntun langkah beliau dalam setiap kebijakan dakwah yang dilakukannya.

Demikian juga, Rosululloh SAW mampu membuktikan sebagai sosok yang juga istimewa ketika mendapat kesempatan berdakwah dengan “dukungan penuh” sebagaimana terjadi dalam periode Madinah. Beliau tidak pernah sewenang-wenang mengambil keputusan tanpa persetujuan sahabat-sahabat yang tidak pernah lelah mendampinginya disaat-saat penuh pertaruhan selama periode Mekkah.

Rosululloh SAW selalu mampu menjadi rujukan bagi sahabat-sahabatnya. Beliau mampu menghadirkan contoh ideal ketika menggenggam kekuasaan. Kedudukan sebagai orang pertama dalam Agama dan Negara tidak merubah keteladanan dalam diri Baginda.

Alhasil, itulah Rosululloh SAW. Sosok panutan yang tidak pernah lekang dimakan zaman. Setiap langkahnya selalu menjadi rujukan bagi siapapun yang menghendaki kedekatan dengan pencipta-Nya. Beginda-lah prototipe da’i sejati hingga akhir zaman.

Allahumma Sholli ‘Ala Sayyidina Muhammad…

Substansi Al-Quran Dalam Dinamika kehidupan

Oleh: Khozairi Taufiq, S. Hi*

Kreasi manusia sebagai peejawantahan potensi akal terbukti melahirkan karya fenomenal baru secara dinamis perlu dicermati secara normatif dengan memaknai teks secara substantif dan memahami Alquran secara kontekstual, agar dapat menemukan hukum yang valid dan relevan terhadap mas’alatul far’iyah yang berkembang sebagai konsekuensi logis yang timbul kemudian.

Memahami agama lewat teks secara scriptural berakibat umat sering kali tidak sampai pada maksud tuhan yang sebenarnya, sebab Alquran bersifat universal dan banyak mengandung makna inplisit yang tak terungkap. Akibat lebih dekatnya adalah diantara umat saling menyalahkan dan merasa paling benar terhadap apa yang ia baca dan pahami.


Padahal sesungguhnya masih banyak makna-makna tersembunyi yang harus digali dan diungkapkan. Mengingat Alquran sendiri diturunkan secara berangsur-angsur atau berkala, sehingga sangat mungkin banyak nilai- nilai tercecer dikarenakan masih melihat kemampuan manusia waktu itu.

Apalagi cara dan kemauan Alquran dalam merubah komunitas umat bersifat evolutif, berkala dan berlanjut. Tidak terhenti walaupun Nabi Muhammad saw telah meningal. Tugas itu harus terus dijalankan oleh para pewaris beliau yaitu para ilmuan dan cendikiawan.


Menurut Abdallah Darraz (1960), Apabila anda membaca Alquran, maknanya akan jelas dihadapan anda. Tapi jika anda membacanya sekali lagi, anda akan menemukan pula makna- makna lain yang berbeda dengan makna sebelumnya. Demikian seterusnya. Sampal- sampai anda dapat menemukan kata-kata atau kalimat yang punya arti mungkin benar. Ayat dan kalimat Alquran bagaikan intan. Setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut yang lainnya. Dan tidak mustahil bila anda mempersilahkan orang lain melihatnya, ia akan melihat lebih banyak ketimbang apa yang anda lihat dan anda pahami.

Kehadiran Alquran di tengah umat Islam bagaikan “representasi” dari kehadiran Allah dan Rasulnya untuk selalu menyertai mereka. Ayat demi ayat yang disampaikan Rasulullah tidak sekedar dipahami dari segi gramatikal dan keindahan bahasanya, melainkan lebih dalam dan lebih kompleks lagi adalah pengamalannya dalam pribadi-pribadi orang mukmin serta mendialogkan dengan problem nyata dan langsung.


Berbagai bentuk perintah dan larangan dalam Alquran mempunyai implikasi hukum serta tindakan praksis bagi umat Islam. Sehingga dengan begitu, praktis Alquran yang bagaikan lentera bagi orang buta yang berjalan meraba raba tiba-tiba diperlihatkan jalan yang terang benderang.

Pendeknya di masa Rasulullah hidup, ayat-ayat yang diwahyukan selalu menimbulkan dinamika wacana dalam masyarakat. Ayat-ayatnya selalu terlibat dalam sebuah dialog kehidupan secara dinamis dan terbuka (demokratis).

Ayat demi ayat, surat demi surat oleh para sahabat nabi ditafsirkan dengan ayat- ayat kehidupan dan ayat-ayat kosmologis, karena antara Alquran yang tertulis dan terucapkan dan ayat-ayat yang terhampar dalam jagat raya serta ayat-ayat yang terlukis dalam diri manusia, satu sama lain saling menafsirakan dan memberi informasi

Interpretasi dengan ijtihad (AL Tafsir Birro’yi) bisa saja dilakukan asalkan berpijak pada asas yang benar dan kaidah yang baku, tidak hanya hasrat dan opini semata. Dalam hal ini Rasulullah saw memberi warning melalui hadits riwayat Abu Daud.
من قال في القران برعيه فاصاب فقد اخطا
Artinya: Barang siapa yang berkata didalam Alquran dengan pendapatnya sendiri lalu benar, maka dia telah keliru.

Interpretasi teks tidak bisa hanya berdasarkan asumsi dan spekulasi, tapi harus cocok dengan kehendak syari’, jauh dari bodoh dan sesat, mengikuti Qowa id al- Lughat al- Arabiah, berpijak pada sistematika bahasa yang baik dalam memahami nash Alquran, dan bersifat ilmiah dan harus didalami dengan beberapa ilmu pendukung lainnya.

Alhasil, jangan sampai ada tendensi pragmatis dan ambisi sesaat yang mengarah pada justifikasi sesuatu yang salah menurut substansi teks dan menjual ayat Allah yang tidak ternilai harganya.

*Penulis adalah alumni IAI Miftahul Ulum Pamekasan Angkatan 2002

Potret Sederhana Rintangan Dakwah Rosululloh SAW

Oleh: Bahrur Rosi

Setiap manusia memiliki garis nasibnya sendiri dengan tingkat kesabaran dan rasa syukur yang beragam atas semua yang dialami. Semakin tinggi nilainya dihadapan Alloh SWT, semakin besar pula pertanyaan yang diberikan kepadanya. Seperti pepatah, “semakin tinggi pohon menjulang, semakin besar angin menerpanya”.

Apalagi manusia yang bergelar da’i, sudah barang tentu rintangan akan datang silih berganti dalam berbagai rupa. Namun demikian, rintangan terberat adalah ketika datang dari internal organisasi, keluarga dan pribadi da’i itu sendiri. Asumsi tersebut didasarkan pada potret perjalanan dakwah Rosululloh SAW dan nabi-nabi sebelumnya.

Sebut saja, Nabi Nuh AS yang harus diingkari oleh anaknya sendiri. Nabi Ibrahim AS, beliau harus menjadi seorang putra pengrajin berhala. Nabi Luth dikhianati ibu dari anak-anaknya sendiri. Demikian pula, Rosululloh SAW harus berhadapan dengan paman-pamannya sendiri yang berperan sangat penting dalam perjalanan hidup Baginda yang sebatang kara.

Sejarah mencatat, Rasulullah sangat dimusuhi kelompok-kelompok kafir Quraisy yang notabene-nya adalah kerabat dekat dan masih se-suku dengan beliau.Rintangan perjalanan dakwah tersebut sudah menjadi sunnatulloh yang dihadapi orang-orang yang telah dipilih Alloh untuk membumikan ajaran-Nya. Tentu, satu-satunya harapan yang bisa ditunggu da’i hanyalah pertolongan dari Alloh SWT.

Namun demikian, ma’unah tersebut harus dijemput dengan kematangan diri dari berbagai segi. Da’i harus serba ideal dari berbagai sisi, finansial, keilmuan, dukungan stakeholder dan hal-hal lain yang mampu mendukung penampilan da’i sebagai seorang yang “hampir sempurna”.

Sunnatulloh semacam ini harus dengan dijemput dengan sunnatulloh yang lain sebagai penyeimbang untuk menghidupkan peluang dakwah sebesar-besarnya. Karena, takdir manusia bukanlah suatu yang harus diratapi, tapi harus dicarikan alternatif dari formulasi Al-Qur’an dan Sunnah Rosululloh SAW.

Rosululloh SAW telah memberikan teladan yang jelas bagaimana beliau bertahan dari serangan “orang-orang sekitarnya”.

Diantaranya, mempererat hubungan dengan orang yang memiliki kesamaan visi dengan dakwah yang diembannya. Hal tersebut tampak jelas dari cara Rosululloh SAW memperlakukan dan memposisikan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan para sahabatnya yang lain sebagai “penolong utama” dakwah yang dilakukan beliau.

Demikian pula, membangun komunitas baru sebagai dasar perjuangan bisa menjadi alternatif tambahan manakala langkah pertama belum maksimal. Hal tersebut terlihat dari perjalanan hijrah beliau ke kota Madinah yang kelak menjadi pusat perjuangan dakwah Baginda nabi.

Solusi sebagaimana dimaksud, sangat mungkin dipraktekkan di era milenial seperti saat ini. Membangun solidaritas dengan organisasi lain yang memiliki visi yang sama dengan model dakwah yang dilakukan, bisa menjadi solusi kreatif demi eksistensi dakwah tersebut manakala tidak menemukan “penggemar” dalam komunitasnya sendiri.

Namun demikian, tulisan singkat ini tidak akan mampu menampilkan secara utuh potret dakwah Rosululloh SAW. Pasalnya, perjalanan dakwah bukanlah suatu yang hanya bisa dilihat sebagai “happy ending” semata, tapi juga proses “kesana-nya” yang perlu mendapat perhatian khusus sebagai sebuah referensi yang utuh.

Tugas da’i hanya menyampaikan risalah, urusan berhasil dan tidaknya, mutlak hak prerogatif Alloh SWT. Alhasil, da’i harus “sedia payung sebelum hujan” karena dakwah merupakan suatu yang sangat “seksi” dan pasti mengundang “prilaku lebay” orang-orang yang merasa terusik eksistensinya.

Dakwah Minimalis

Oleh: Bahrur Rosi

Dakwah merupakan kegiatan baik yang tidak akan pernah tergusur kemajuan zaman. Ia akan selalu hadir dalam setiap bentuk dan konten sesuai kemampuan dan kebutuhan “para pelaku” dakwah dan mitranya di setiap zaman.

Dakwah minimalis adalah dakwah dengan konten, media dan pendekatan sederhana yang dimaksudkan hanya untuk menggugurkan kewajiban perintah berdakwah bagi setiap orang mukallaf.

Pasalnya, para ulama masih berselisih paham terkait dakwah sebagai kewajiban individu ataupun kolektif karena beberapa pertimbangan yang tidak bisa diabaikan terkait ragam kemampuan manusia dalam berdakwah.

Namun demikian, tulisan ini tidak bermaksud menyematkan “label negatif” terhadap orang-orang yang hanya mampu melaksanakan kewajiban berdakwah alakadarnya.

Bahkan, tulisan ini diharapkan mampu memberikan gambaran simple sebagai ke-khas-an tersendiri yang bisa menjadi alternatif bagi para pelaku dakwah dengan kemampuan pas-pasan.

Dakwah minimalis merupakan “pilihan lain” bagi da’i untuk menggugurkan kewajiban dengan melakukan dakwah sesuai kadar kemampuannya.

Tidak perlu konten, media, metode yang njelimet, cukup menyampaikan apa yang da’i tersebut kuasai. Dakwah model ini lebih ditekankan pada pendekatan bilhal dengan memanfaatkan keseharian da’i sebagai teladan bagi mitra dakwah.

Namun demikian, dakwah minimalis ini memiliki keistimewaan tersendiri karena konten yang didakwahkan bersentuhan langsung dengan keseharian masyarakat.

Bahkan, boleh jadi dakwah minimalis lebih diterima masyarakat karena unsur keikhlasan yang terdapat pada da’i tersebut, tanpa harus “memoles diri” sebagai seorang yang sempurna melalui retorika ataupun berakting di depan kamera.

Hanya saja, da’i dituntut menjadi pribadi “yang asli” dan mampu mencerminkan keteladanan dalam bentuk yang sederhana. Demikian pula, da’i harus memahami bahwa ” satu keteladanan yang baik lebih bermakna daripada seribu retorika”.

Dengan demikian, da’i lebih berfokus untuk mencerminkan kepribadian”orang sholeh yang sederhana” daripada ambil peran sebagai tokoh sempurna, tapi rekayasa.

Dakwah minimalis memberikan peluang kepada siapapun untuk ambil peran dalam berdakwah sesuai kadar kemampuan masing-masing. Mereka hanya butuh kemurniaan niat dan ketulusan hati dengan mencerminkan akhlakul karimah dalam perilaku mereka.

Bahkan, tidak menutup kemungkinan, dakwah model ini bisa menjadi kampanye “membumikan risalah” secara gratis, tanpa harus mengeluarkan modal besar yang justru membebani kegiatan dakwah. Pasalnya, terkadang besaran biaya yang dibutuhkan menjadi penghalang pada sebagian orang untuk turut ambil bagian dalam dakwah.

Wallahu A’lam Bisshowab

Dialektika Islam dan Umat-nya

Oleh: Bahrur Rosi

Islam merupakan agama yang merepresentasikan segala kesempurnaan dari berbagai aspek. Islam tak ubahnya oase ditengah gersang dan semrawutnya kehidupan manusia. Karenanya, Islam tidak perlu lagi menerima tanda tanya untuk menyoal setiap ajaran yang dibawanya.


Akan tetapi, terkadang keterbatasan manusia membuat mereka menjadikan agama sebagai suatu pembenaran terhadap segala kealpaan mereka memahami kompleksitas realitas kehidupan. Termasuk diantaranya toleransi, sering sekali dibenturkan dengan ajaran Islam oleh segelintir orang karena keterbatasan pengetahuan mereka.


Demikian pula, pemaknaan terhadap toleransi secara parsial dengan mengatasnamakan hak asasi manusia menjadi pangkal tercerabutnya esensi toleransi itu sendiri. Hal tersebut berakibat pada maraknya penyalahgunaan kata toleransi untuk mengakomodir keinginan pribadi yang cenderung menyalahi prinsip paten kehidupan beragama dan bernegara.


Seandainya, istilah toleransi ditempatkan sebagaimana mestinya, tentu akan membawa kemaslahatan pada setiap struktur kehidupan tanpa harus menghilangkan batasan yang telah digariskan. Namun kenyataannya, toleransi hanyalah alat pembenaran untuk mengklaim kepuasan pribadi.


Padahal, Islam telah memberikan peluang sebesar-besarnya kepada setiap manusia untuk ambil peran dalam menciptakan nuansa kehidupan yang penuh dengan keterbukaan dan penerimaan terhadap segala macam perbedaan.


Kebenaran tersebut bersifat qoth’i dan tidak dapat dibantah dengan dalil apapun, aqli maupun naqli. Perjalanan sejarah telah membuktikan, Islam adalah satu-satunya agama yang tidak membebani penganutnya dengan “kewajiban” diluar kemampuan manusia.


Alhasil, tudingan tak berdasar bahwa Islam anti terhadap toleransi hanyalah isapan jempol orang-orang yang masih terbuai dalam mimpi. Mereka hanya berlindung dari keterbatasan dirinya dengan mengambinghitamkan suatu yang sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam.


Bahkan, ulah mereka sendiri yang berpotensi menggambarkan wajah Islam yang sama sekali berbeda dengan realitas ajaran yang sesungguhnya. Namun demikian, sampai kapanpun Islam tetap akan menjadi agama yang sempurna meskipun terus dibenturkan dengan beragam stereotip negatif karena egoisan pemeluknya.

Wallahualam bisshowab….

Urgensi Sanad Keilmuan Bagi Da’i
Oleh: Bahrur Rosi

“Kepemilikan” terhadap sanad yang jelas dan bersambung kepada orang-orang yang “diakui” keilmuannya merupakan salah satu keharusan yang mesti terpenuhi untuk memaksimalkan pencapaian dakwah. Pasalnya, dakwah bukanlah kegiatan yang hanya bertumpu pada pengetahuan teoritis semata, namun juga kematangan spiritual yang bisa terpancar dalam wujud kesalehan sosial.

Hal tersebut menjadi landasan utama bahwa seorang da’i harus lahir dari “rahim” yang jelas asal-usulnya. Da’i tidak boleh ujug-ujug pegang peranan penting dalam dakwah tanpa adanya kematangan proses yang mu’tabarah sebagaimana telah digariskan oleh salafus Sholeh.

Tulisan ini tidak bermaksud membatasi ruang bagi siapapun untuk ambil peranan, namun lebih pada kehati-hatian dari tercederainya kesucian dakwah sebagai pengemban misi membumikan risalah.

Hanya saja, perlu disadari, dakwah bukanlah kegiatan yang bisa dilakukan “sambil lalu” oleh semua orang. Dakwah harus dilandasi pengetahuan dan pengalaman yang mumpuni di berbagai bidang untuk setidaknya memberikan teladan kepada mitra dakwah.

Pun demikian, ketersambungan sanad tersebut harus ditunjang kompleksitas kemampuan da’i dalam berbagai bidang, terutama yang terintegrasi langsung dengan kegiatan dakwah, baik dari segi konten, metode dakwah maupun kredibilitas da’i itu sendiri.

Akan tetapi, perlu juga diingat, dakwah merupakan suatu kebutuhan yang tidak bisa ditunda-tunda. Semua orang mukallaf “harus” ambil peranan dalam kegiatan ini sesuai dengan kapasitas keilmuan dan bidang keahlian masing-masing. Meskipun hal tersebut baru bisa dilakukan apabila memenuhi syarat, da’i tersebut telah selesai menunaikan kewajiban sebagai “orang pertama” yang harus memberikan teladan tentang apa yang di-dakwah-kan.

Namun demikian, harapan besar tidak bisa dibebankan pada da’i dengan “kapasitas seadanya” sebagaimana dimaksud. Pasalnya, dakwah memang tidak bisa dilakukan “orang biasa”, karena tantangan yang dihadapi bukanlah perkara mudah yang bisa diselesaikan hanya dengan berpangku tangan.

Alhasil, sebagai kesimpulan sementara, da’i mesti memiliki “semua hal” terbaik yang bisa diupayakan untuk memunculkan kepercayaan kepada mitra dakwah dalam menerima konten dakwah dengan tangan terbuka. 

Problematika Bahasa Dakwah Milenial
Oleh: Bahrur Rosi

Setiap era memiliki “bahasanya” sendiri sebagai identitas dan media komunikasi. Mulanya, bahasa hanyalah penyatu persepsi, namun terus berkembang menjadi pengikat “label” seseorang.

Memang, bahasa termasuk “paket komplit” kemampuan yang sudah terbawa sejak lahir, namun demikian, tidak serta merta menjadi jaminan setiap orang pasti memiliki kemampuan memilih gaya bahasa yang familiar dan diterima semua kalangan.

Bahkan, seringkali bahasa justru menjadi penyebab sulitnya memahami orang lain. Belum lagi perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat seakan mengacak-acak kaidah bahasa itu sendiri.
Alhasil, bahasa seperti tak lagi memiliki ciri khas yang jelas, semuanya menjadi tambah amburadul sebab kekaburan istilah yang dipopulerkan kalangan milenial.

Terlebih, ketika mengaitkan “kerumitan bahasa” dengan kompleksitas problematika dakwah.
Sesuatu yang tampaknya sederhana, ternyata menjadi begitu rumit karena muatan tujuan yang diemban dakwah. Hal tersebut lantaran dakwah tidak bisa disampaikan secara simpel dan sederhana, justru harus disertai penjelasan detail dan seksama.

Pasalnya, dakwah menuntut terjadinya rekayasa sosial dalam berbagai wajah kehidupan.
Tetapi, bahasa justru sangat terbatas untuk menjabarkan risalah nubuwah yang harus tersampaikan “hingga selesai”.

Bahkan, manakala terdapat “tampilan” aneh pada wajah Islam, boleh jadi penyebabnya adalah keterbatasan “pelaku” dakwah memilih pola bahasa yang relevan dengan kebutuhan mitranya.
Tak ayal, ajaran Islam yang telah sempurna nampak seperti pecahan puzzle yang masih berserakan.

Efek lanjutannya, materi dakwah hanya terpotret secara parsial dan cenderung mengaburkan esensi nilai ajaran Islam yang utuh.
Dengan demikian, upaya menemukan titik simpul antara kesemrawutan tersebut menjadi suatu keharusan, demi setidaknya membebaskan dakwah dari belenggu dan kerumitan bahasa.

Atas dasar itulah, seorang da’i dituntut mampu menghadirkan dakwah dengan bahasa “santai” namun tidak mendistorsi esensi ajaran yang disampaikan. Problem yang serba dilematis tersebut setidaknya dapat terurai dengan beberapa tips yang tertera dalam teks suci maupun pengalaman para rijalud dakwah.

Namun demikian, inovasi dan kreativitas untuk menghadirkan bahasa dakwah yang familiar bagi kaum milenial harus didandani secantik mungkin. Pasalnya, dakwah tidak lagi cukup dipoles dengan bahasa mutiara, namun harus juga dengan bingkai estetika dari berbagai aspeknya.

Capacity Building adalah Keniscayaan

Oleh: Bahrur Rosi

Setiap manusia dituntut untuk meng-upgrade kemampuan diri untuk menjalankan tugasnya, baik sebagai individu atau bagian dalam komunitas tertentu. Sebagaimana maklum, manusia dan beragam problematika kehidupan bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling membutuhkan untuk eksistensi masing-masing.
Atas dasar itulah, peningkatan kapasitas diri atau biasa dikenal capacity building menjadi suatu keharusan. Beragam rasa khawatir akan berbagai macam hal, bukanlah suatu yang mesti beriringan dengan kesempatan “menyelamatkan” diri. Boleh jadi, hal tersebut malah menuntut untuk disikapi dengan kematangan diri.
Capacity building itu sendiri biasa diartikan sebagai upaya memperkuat kapasitas individu, kelompok atau organisasi yang dicerminkan melalui pengembangan kemampuan, ketrampilan, potensi dan bakat serta penguasaan kompetensi-kompetensi untuk mengatasi tantangan untuk pencapaian yang lebih baik.
Dalam hal ini, capacity building dapat diterjemahkan sebagai proses meningkatkan kemampuan pengetahuan dan keterampilan (skills), sikap (attitude) dan perilaku (behaviour) dari SDM da’i. Pasalnya, ketiga hal tersebut menjadi bekal paten bagi da’i untuk menampilkan wajah Islam yang benar-benar rahmah.
Bahkan, orientasi definisi tersebut harus “terinstall” secara komprehensif kepada para da’i muda yang baru menginjakkan kaki di medan dakwah. Suatu medan terjal yang tentu penuh onak berduri yang siap “menyakiti” siapapun dengan kemampuan pas-pasan.
Pun demikian, kemampuan dibawah standar minimal hanya akan menyengsarakan kita dikemudian hari. Tak mungkin perkembangan dunia yang begitu pesat menunggu kita yang stagnan di zona nyaman. Hal ini juga berlaku dalam realitas dakwah, bahkan tentu lebih kejam dari dunia hiburan yang penuh ke-berpura-pura-an.
Upgrade kemampuan sebagaimana konsep capacity building menjadi salah satu solusi untuk mengikis jarak antara keterbatasan kita dengan meningkatnya tuntutan zaman. Pasalnya, para da’i dituntut mampu menciptakan model dakwah yang relevan dengan “gaya hidup” milenial.
Da’i tidak boleh hanya menjadi penunggu mimbar untuk memberikan pencerahan. Bahkan, da’i harus mampu memanfaatkan setiap momentum menjadi wahana potensial untuk transformasi ajaran Islam sesuai dengan tuntutan zamannya. Dengan catatan, tidak boleh membuat ajaran tersebut tercerabut dari akar yang telah ditetapkan.
Lumrah memang, sebagaimana ditakdirkan, da’i akan selalu menjadi “tokoh antagonis” dalam upayanya menciptakan rekayasa sosial. Setiap da’i pasti bersinggungan dengan “ketidak nyamanan” sikap dari orang-orang yang merasa terusik dengan kehadirannya.
Disinilah perbedaan kapasitas akan menjadi pembeda antara mereka yang benar-benar expert di bidangnya dengan mereka yang hanya berlindung dibalik ketidak mampuannya mengamini tuntutan kenyataan.
Alhasil, capacity building harus diarahkan untuk meningkatkan potensi da’i mencapai tujuan mereka sebagai pengemban misi dakwah Rosululloh SAW. Dakwah tidak lagi cukup sekedar transformasi ajaran secara parsial dengan mengkambinghitamkan keterbatasan manusia.

slot