Problematika Bahasa Dakwah Milenial

Oleh: Bahrur Rosi

Setiap era memiliki “bahasanya” sendiri sebagai identitas dan media komunikasi. Mulanya, bahasa hanyalah penyatu persepsi, namun terus berkembang menjadi pengikat “label” seseorang.

Memang, bahasa termasuk “paket komplit” kemampuan yang sudah terbawa sejak lahir, namun demikian, tidak serta merta menjadi jaminan setiap orang pasti memiliki kemampuan memilih gaya bahasa yang familiar dan diterima semua kalangan.

Bahkan, seringkali bahasa justru menjadi penyebab sulitnya memahami orang lain. Belum lagi perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat seakan mengacak-acak kaidah bahasa itu sendiri.
Alhasil, bahasa seperti tak lagi memiliki ciri khas yang jelas, semuanya menjadi tambah amburadul sebab kekaburan istilah yang dipopulerkan kalangan milenial.

Terlebih, ketika mengaitkan “kerumitan bahasa” dengan kompleksitas problematika dakwah.
Sesuatu yang tampaknya sederhana, ternyata menjadi begitu rumit karena muatan tujuan yang diemban dakwah. Hal tersebut lantaran dakwah tidak bisa disampaikan secara simpel dan sederhana, justru harus disertai penjelasan detail dan seksama.

Pasalnya, dakwah menuntut terjadinya rekayasa sosial dalam berbagai wajah kehidupan.
Tetapi, bahasa justru sangat terbatas untuk menjabarkan risalah nubuwah yang harus tersampaikan “hingga selesai”.

Bahkan, manakala terdapat “tampilan” aneh pada wajah Islam, boleh jadi penyebabnya adalah keterbatasan “pelaku” dakwah memilih pola bahasa yang relevan dengan kebutuhan mitranya.
Tak ayal, ajaran Islam yang telah sempurna nampak seperti pecahan puzzle yang masih berserakan.

Efek lanjutannya, materi dakwah hanya terpotret secara parsial dan cenderung mengaburkan esensi nilai ajaran Islam yang utuh.
Dengan demikian, upaya menemukan titik simpul antara kesemrawutan tersebut menjadi suatu keharusan, demi setidaknya membebaskan dakwah dari belenggu dan kerumitan bahasa.

Atas dasar itulah, seorang da’i dituntut mampu menghadirkan dakwah dengan bahasa “santai” namun tidak mendistorsi esensi ajaran yang disampaikan. Problem yang serba dilematis tersebut setidaknya dapat terurai dengan beberapa tips yang tertera dalam teks suci maupun pengalaman para rijalud dakwah.

Namun demikian, inovasi dan kreativitas untuk menghadirkan bahasa dakwah yang familiar bagi kaum milenial harus didandani secantik mungkin. Pasalnya, dakwah tidak lagi cukup dipoles dengan bahasa mutiara, namun harus juga dengan bingkai estetika dari berbagai aspeknya.


Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *