Oleh: Moh. Toyyib*
Setelah cukup lama menjadi Mahasiswa kampus yang ada di bawah naungan pesantren, menganut paham Aqidah Ahlusunah Wa Al Jamaah Secara paten, dengan konsep dasar As’ariyah dan Maturidiyah, tapi semua aliran sempalan tetap dikaji agar bisa ditemukan benang kusutnya. Karena mahasiswa itu bukan hanya pasif tanpa menelaah. Akal sebagai modal untuk mengukur benar atau tidaknya suatu perkara yang diikuti.
Puji syukur kehadirat Alloh SWT. Tadi sebelum Jum’at saya melaksanakan sidang Skripsi dengan judul Dakwah Bi Al-Qolam dalam gerakan Santri menulis. Alhamdulillah, proses akhir tersebut berjalan dengan lancar di bawah bimbingan dosen-dosen IAIMU Pamekasan. Terima kasih atas segala masukan dan krititikan untuk pengembangan diri ini yang sangat lemah dan dahaga akan ilmu pengetahuan.
Wacana judul Skripsi ini sebetulnya sudah lama ada dalam fikiran, melihat perkembangan zaman tekhnologi yang semakin pesat membelah ruang dan waktu. Lebih-lebih dalam kegiatan dakwah yang menurut sebagian orang awam hanya fokus di atas podium dengan metode ceramah. Padahal, dakwah itu banyak macam ragamnya, diantaranya dengan metode dakwah Bi Al-Hal yang bergerak diorganisasi kemasyarakatan, seperti lembaga Amal infak dan shodaqoh, selain juga dakwah Bi Al-Lisan dan Dakwah Bi Al-Hal juga ada dakwah Bi Al-Qolam yang spesifikasi dalam tulisan.
Mahasiswa Program studi Bimbingan dan Penyuluhan Islam Fakultas Dakwah dengan slogannya agent of chenge & agent of sosial control harus bisa menguasai ketiga metode di atas, dengan melihat mitra dakwah yang sebagian jumlah besar manusia banyak menghabiskan di sosial media.
Tentu hal ini kesempatan dan peluang besar untuk melebarkan sayap dakwah. Sesuai ayat yang berbunyi
بلغو عني ولو اية
“Sampaikanlah padaku walau hanya satu ayat.”
Tugas dakwah kalau merujuk pada Hadist di atas maka setiap muslim wajib untuk berperan sebagai seorang da’i, tapi untuk makna yang lebih spesifik seorang da’i harus menguasai semua bidang ilmu pengetahuan, bukan mmebaca satu kitab dan buku lantas sudah bisa menjadi da’i sejati. Tidak menorehkan apa yang terjadi pada saat ini agar bisa dinikmati oleh generasi muda yang akan datang salahsatunya dengan cara menulis hingga menjadi sebuah karya. Coba bayangkan jika Al Qur’an, Al Hadist dan kitab-kitab klasik yang dikarang oleh Ulama-ulama salaf tidak dibukukan maka ummat ini akan kebingungan tidak tahu arah.
Fasilitas semakin mudah sebenarnya harus lebih baik, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Dalam buku management waktu ulama’ karangan Syeikh Abdul Fattah menceritakan ada ulama’ yang hanya mempunyai uang cukup untuk makan, disamping itu beliau ingin membeli kertas untuk menulis kitab. Alhasil beliau rela tidak makan dan membeli kertas untuk menulis kitab. Tapi pada akhir cerita Alloh mengirimkan makanan melalui perantara orang lain.
Menulis adalah ibadah dan pekerjaannya sangat mudah lebih-lebih di zaman sekarang yang sangat lengkap, tidak usah beli buku, bolpen cari referensi tidak usah ke perpustakaan cukup browsing. Apanya yang sulit? Banyak ayat dan hadist nabi menjelaskan tentang perintah untuk menulis diantaranya dalam suroh Al-Alaq;
الَّذِىۡ عَلَّمَ بِالۡقَلَمِۙ
“Tuhan Yang mengajar (manusia) dengan pena”
Dalam Hadist Rosululloh juga dianjurkan sangat menulis,
ﻭَﻗَﺪْ ﻭَﺭَﺩَ ﻓِﻲ ﺍْﻟَﺎﺛَﺮِ ﻋَﻦْ ﺳَﻴِّﺪِ ﺍﻟْﺒَﺸَﺮِ ﺻَﻠﻰَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍَﻧَّﻪُ ﻗﺎَﻝَ : ﻣَﻦْ ﻭَﺭَّﺥَ ﻣُﺆْﻣِﻨﺎَ ﻓَﻜَﺄَﻧﻤَّﺎَ ﺍَﺣْﻴﺎَﻩُ ﻭَﻣَﻦْ ﻗَﺮَﺃَ ﺗﺎَﺭِﻳْﺨَﻪُ ﻓَﻜَﺄَﻧﻤَّﺎَ ﺯَﺍﺭَﻩُ ﻓَﻘَﺪْ ﺍﺳْﺘًﻮْﺟَﺐَ ﺭِﺿْﻮَﺍﻥَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓﻲِ ﺣُﺰُﻭْﺭِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ .
Rasulullah Saw.bersabda: “Barangsiapa membuat sejarah orang mukmin (yang sudah meninggal) sama saja ia telah menghidupkannya kembali.Dan barangsiapa membacakan sejarahnya seolah-olah ia sedang mengunjunginya. Maka Allah akan menganugerahinya ridhaNya dengan memasukkannya di surga.”.
Keabadian ulama-ulama itu karena sipak terjangnya dalam membukukan hingga bisa dilihat oleh generasi berikutnya, bukan karena nasabnya. Andaikan beliau-beliau tidak pernah menuliskan hasil ijtihad dan gagasannya, maka kecerdasan intelektual itu habis ditelan oleh zaman.
Tapi mereka sadar hal itu adalah ibadah jariyah yang akan terus menjadi pahala ketika dia sudah tidak ada. Sebagaimana Ibru Jarir At Thobari dan ulama-ulama lain yang sudah di tuliskan dalam kitabnya Syekh Abdul Fattah
العلماء العزاب
Mereka sudah wafat tapi masih ada pahala yang terus mengalir dari kitab-kitab yang beliau tulis, meskipun mereka tidak beristri dan tidak mempunyai keturunan untuk mendoakannya.
Hal tersebut mendorong penulis untuk memaksimalkan peran dalam kegiatan dakwah di era melenial. Setidaknya, secuil pengetahuan yang penulis dapat dari bangku kuliah bisa menyisakan setitik jejak kebaikan yang bisa diakses generasi masa depan.
*Penulis adalah mahasiswa Prodi BPI angkatan 2017
Leave a Reply