Keterbatasan Memaknai Indonesia Raya

Oleh: Moh Fahmi*

Lagu Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman punya sejarah panjang. Lagu itu pertama kali dikumandangkan saat dilakukan Kongres Pemuda pada 28 Oktober 1928 di Jakarta. Hari itu kemudian diperingati sebagai Sumpah Pemuda setiap tahunnya.

Lagu ini sudah menjadi kewajiban bagi seluruh rakyat indonesia. Banyak sekali contoh yang sudah kita temukan diberbagai sekolah ataupun madrasah.

Bahkan, sebelum memulai pertandingan sepakbola lagu kebangsaan yang menjadi semboyan kemerdekaan itu wajib dikumandangkan. Demikian juga, pengibaran bendara di setiap tanggal 17 agustus dalam rangka memperingati hari kemerdekaan indonesia tercinta, lagu kebangsaan itu tidak pernah alpa.

Tapi setelah dirasa sangat lama, mungkin saja belum menyadari, bahwa didalam lirik lagu tersebut ada sedikit yang mengganjal dibenak kita.

Tepatnya dii bagian “hiduplah tanahku”(lumayan,seolah olah anda mengaku ngaku kalau tanah yang anda pijak ini menjadi milik anda atau entah tanah mana yang anda maksudkan , jujur sayapun tidak begitu mengerti, hati saya bergumam”emang saya punya tanah?)

Kemudian lagi, di bagian “hiduplah negeriku” (dan ini fakta bahwa negara ini adalah milik kita bersama yang harus kita jaga, itu pentingnya kita punya rasa memiliki negara ini sehingga bukan hanya negara tapi sekaligus nilai pancasila yang harus dilestarikan).

Ada lagi seperti “bangsaku” (Bangsa dalam arti sosiologi antropologis berarti persekutuan hidup masyarakat yang berdiri sendiri dan masing-masing memiliki anggota persekutuan hidup yang terdiri dari kesatuan ras, bahasa, agama, dan adat istiadat. Masyarakat yang satu bangsa disatukan oleh kesamaan ras, budaya, keyakinan, bahasa, dan sebagainya.

Petikan lirik ini cukup memiliki tingkat kesulitan bagi para rakyat itu sendiri. Tepat dibagian “rakyatku semuanya…”, kalimat ini lebih pantas dipakai oleh pemimpinnya yaitu presiden, tapi aneh kiranya jika rakyat indonesia mengaku ngaku punya rakyat juga, padahal bukan pemimpin, ia hanya rakyat biasa, pengangguran pula.

Pertanyaanya, pantaskah jika kalimat itu dikumandangkan oleh rakyat sipil?

Entah, saya-pun juga ragu sampai dikalimat itu. Tapi ternyata kalau di pikir pikir lagi, presiden itu adalah rakyat. Pasalnya, rakyat adalah bagian dari suatu negara atau unsur penting dari suatu pemerintahan.


Namun demikian, terlepas dari itu semua, penulis menyadari mungkin pemaknaan yang terlalu sempit sebagaimana penulis kutip, hanyalah keterbatasan penulis sebagai pribadi yang terlalu malas belajar dan hanya mengandalkan isapan jempol sebagai pijakan nalar.

*Penulis adalah mahasiswa prodi BPI angkatan 2019


Posted

in

by