Oleh: Bahrur Rosi
Setiap manusia memiliki garis nasibnya sendiri dengan tingkat kesabaran dan rasa syukur yang beragam atas semua yang dialami. Semakin tinggi nilainya dihadapan Alloh SWT, semakin besar pula pertanyaan yang diberikan kepadanya. Seperti pepatah, “semakin tinggi pohon menjulang, semakin besar angin menerpanya”.
Apalagi manusia yang bergelar da’i, sudah barang tentu rintangan akan datang silih berganti dalam berbagai rupa. Namun demikian, rintangan terberat adalah ketika datang dari internal organisasi, keluarga dan pribadi da’i itu sendiri. Asumsi tersebut didasarkan pada potret perjalanan dakwah Rosululloh SAW dan nabi-nabi sebelumnya.
Sebut saja, Nabi Nuh AS yang harus diingkari oleh anaknya sendiri. Nabi Ibrahim AS, beliau harus menjadi seorang putra pengrajin berhala. Nabi Luth dikhianati ibu dari anak-anaknya sendiri. Demikian pula, Rosululloh SAW harus berhadapan dengan paman-pamannya sendiri yang berperan sangat penting dalam perjalanan hidup Baginda yang sebatang kara.
Sejarah mencatat, Rasulullah sangat dimusuhi kelompok-kelompok kafir Quraisy yang notabene-nya adalah kerabat dekat dan masih se-suku dengan beliau.Rintangan perjalanan dakwah tersebut sudah menjadi sunnatulloh yang dihadapi orang-orang yang telah dipilih Alloh untuk membumikan ajaran-Nya. Tentu, satu-satunya harapan yang bisa ditunggu da’i hanyalah pertolongan dari Alloh SWT.
Namun demikian, ma’unah tersebut harus dijemput dengan kematangan diri dari berbagai segi. Da’i harus serba ideal dari berbagai sisi, finansial, keilmuan, dukungan stakeholder dan hal-hal lain yang mampu mendukung penampilan da’i sebagai seorang yang “hampir sempurna”.
Sunnatulloh semacam ini harus dengan dijemput dengan sunnatulloh yang lain sebagai penyeimbang untuk menghidupkan peluang dakwah sebesar-besarnya. Karena, takdir manusia bukanlah suatu yang harus diratapi, tapi harus dicarikan alternatif dari formulasi Al-Qur’an dan Sunnah Rosululloh SAW.
Rosululloh SAW telah memberikan teladan yang jelas bagaimana beliau bertahan dari serangan “orang-orang sekitarnya”.
Diantaranya, mempererat hubungan dengan orang yang memiliki kesamaan visi dengan dakwah yang diembannya. Hal tersebut tampak jelas dari cara Rosululloh SAW memperlakukan dan memposisikan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan para sahabatnya yang lain sebagai “penolong utama” dakwah yang dilakukan beliau.
Demikian pula, membangun komunitas baru sebagai dasar perjuangan bisa menjadi alternatif tambahan manakala langkah pertama belum maksimal. Hal tersebut terlihat dari perjalanan hijrah beliau ke kota Madinah yang kelak menjadi pusat perjuangan dakwah Baginda nabi.
Solusi sebagaimana dimaksud, sangat mungkin dipraktekkan di era milenial seperti saat ini. Membangun solidaritas dengan organisasi lain yang memiliki visi yang sama dengan model dakwah yang dilakukan, bisa menjadi solusi kreatif demi eksistensi dakwah tersebut manakala tidak menemukan “penggemar” dalam komunitasnya sendiri.
Namun demikian, tulisan singkat ini tidak akan mampu menampilkan secara utuh potret dakwah Rosululloh SAW. Pasalnya, perjalanan dakwah bukanlah suatu yang hanya bisa dilihat sebagai “happy ending” semata, tapi juga proses “kesana-nya” yang perlu mendapat perhatian khusus sebagai sebuah referensi yang utuh.
Tugas da’i hanya menyampaikan risalah, urusan berhasil dan tidaknya, mutlak hak prerogatif Alloh SWT. Alhasil, da’i harus “sedia payung sebelum hujan” karena dakwah merupakan suatu yang sangat “seksi” dan pasti mengundang “prilaku lebay” orang-orang yang merasa terusik eksistensinya.