Prinsip Moderasi Beragama sebagai Penyeimbang Aktualisasi Dakwah

Oleh; Habibur Rahman

Sebagai tugas mulia manusia yang posisinya sebagai Khalifah dimuka bumi sangat perlu untuk selalu berbenah dalam melaksanakan perintah untuk selalu tolong menolong dan saling mengingatkan dalam hal kebaikan dan kesabaran dalam menghadapi segala situasi yang terjadi.

Lebih tepatnya lagi, para da’i sebagai juru dakwah dipandang perlu dalam memposisikan diri dan senantiasa menggaungkan prinsip moderasi Beragama sebagai modal utama menghadapi perbedaan suku, ras, budaya, dan agama.

Hal ini dimaksudkan agar terciptanya Islam yang rahmatan Lil Alamin dengan berpegang teguh pada prinsip Ahlussunah Wal Jama’ah yang telah menjadi warisan Asaabiqunal Asswalun.

Sehingga terdapat beberapa ketentuan untuk tetap memelihara nilai-nilai tersebut, yang diantaranya harus mengedepankan sikap maupun sifat; tawassut, tawazun, tasamuh, dan ta’adzul.

Tawassut artinya; da’i harus tidak condong kanan maupun kiri dalam menghadapi situasi yang berpotensi melahirkan perpecahan antar sesama serta tidak apriori dalam menerima dan menolak terhadap budaya yang berkembang dimasyarakat. Dimana arti sebuah persaudaraan adalah tujuan utama terciptanya keharmonisan ditengah masyarakat.

Tawazun maksudnya; da’i harus seimbang dalam menggunakan dalil Aqli maupun Naqli, sehingga disatu sisi tidak menjadi keberatan akan pesan yang disampaikan, begitu Pula tidak terkesan terlalu sepele dalam proses aktualisasi nilai-nilai yang disampaikan. Gamblangnya menghidari ekstremisme maupun liberalisme. Dengan demikian dapat terhindar betul dari gaya lama kaum khawarij yang sama sekali tidak ber-prikemanuasian, dan tentu sangat tidak elok jika dihidupkan kembali ditengah-tengah masyarakat.

Adapun diantara ciri Khawarij adalah:

a. Mudah mengkafirkan orang yang tidak sefaham dengan mereka sekalipun penganut Islam.

b. Islam yang benar adalah seperti yang mereka pahami dan amalkan sedangkan yang lain dianggap salah.

c. Orang Islam yang dianggap tidak sepaham harus dijadikan sepaham dan pemerintah yang tidak sepaham harus diganti.

d. Bersifat fanatik, menggunakan kekerasan dan tidak segan membunuh.

Tasamuh dalam arti, da’i dituntut untuk saling menerima akan saran dan kritikan dari masyarakat serta membangun kebiasaan saling memaafkan atau disebut juga saling toleransi, maksudnya sikap lapang dada, mengerti dan menghargai sikap pendirian dan kepentingan pihak lain tanpa mengorbankan pendirian dan harga diri. Dengan demikian tidak menafikan arti sebuah feedback yang tentu juga sangat membangun akan kreativitas dakwah tentu juga sebagai bahan evaluasi bagi da’i.

Ta’adzul, berprilaku adil serta tidak berpihak antara yang satu dengan yang lain dengan semangat menyuarakan yang benar. Sikap ini harus dibiasakan dimana seorang da’i  harus berlatih dan membiasakan diri bersikap netral dalam segala hal dan adil  dalam menghadapi masalah yang terjadi, sehingga mencapai kriteria da’i yang berbudi luhur dan betul-betul menjadi tauladan (uswah) bagi masyarakat secara umum.

*Penulis Adalah Mahasiswa BPI Angkatan 2016


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *