Bid’ah, Antara Kejumudan Berfikir Dan “Inovasi” Dalam Beragama

Oleh: Moh. Sofi*

Islam merupakan agama Rahmat yang selalu menghadirkan keteduhan dan solusi bagi kehidupan para pemeluknya. Islam tidak hanya mengurusi tentang perilaku manusia kepada Tuhannya, tapi juga perilaku manusia dengan sesama dan lingkungan sekitarnya.

Semua itu sudah diatur sedemikian rupa melalui risalah yang dibawa oleh para rasul yang ditugaskan oleh Allah sebagai pencerah atas semua problema kehidupan manusia. Tuntunan tersebut telah tertuang secara komprehensif dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, tanpa terkecuali.

Mustahil, apabila masih ada yang beranggapan bahwa terdapat sesuatu yang tidak ditemukan relevansinya dalam ajaran Alquran ataupun Sunnah Rasulullah. Hanya saja, keterbatasan pengetahuan dan kejumudan berfikir yang membatasi kemurnian akal untuk menerjemahkan Ilham yang telah diwahyukan oleh Tuhan.

Sementara itu, bagi Ahlu Sunnah, inovasi terhadap model dan praktek beragama terus digalakkan untuk memperbesar “peluang” membumikan “isyarah langit” sebagai petunjuk jalan menggapai rahmat-Nya.

Namun sayang, para ustadz Wahabi ternyata memaknai inovasi beragama tersebut sebagai bid’ah. Mereka bereaksi kelewat batas terhadap sebagian praktik agama umat Islam yang mereka anggap salah dan sesat. Selain itu, mereka mengklaim, bahwa hanya mereka yang benar dalam melaksanakan syariat. Seluruh amal ibadah yang mereka lakukan sesuai dengan syariat, sedang ‘sebagian’ amal ibadah kita justru dianggap bid’ah sebab dipandang tidak sesuai dengan manhaj salaf. Lantas, apa sebenarnya arti dari bidah itu sendiri? Apakah semua yang bidah itu sesat?

Padahal, dalam kitab Mafhumul-Bid’ah, terdapat keterangan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, ditinjau secara etimologi dan syara.

Secara etimologi, bid’ah adalah setiap hal baru yang sebelumnya tidak pernah ada, baik berhubungan dengan agama atau pun tidak. Sedangkan secara syara’ bidah adalah setiap hal baru yang hanya terjadi dalam urusan agama, yang menyalahi pada ajaran yang bersifat esensial dalam agama, dan berlawanan dengan nash-nash yang telah ada.

Demikian juga, dalam literatur kitab tauhid, secara global bid’ah terbagi menjadi dua bagian. Adakalanya, bid’ah terpuji (mamduhah) dan ada juga bid’ah tercela (madzmumah). Bahkan, dalam konteks ini pula Imam An-Nawawi mengklasifikasikan bid’ah menjadi lima sebagamana pembagian hukum yang ada di dalam syariat islam. Adakalanya bid’ah wajib, sunah, mubah, makruh, dan bid’ah haram.

*Penulis adalah Mahasiswa Prodi BPI Angkatan 2021


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *