Oleh: Bahrur Rosi*
Membaca sejatinya adalah fitrah manusia yang dibawanya sejak pertama kali membuka mata dunia. Kenyataan tersebut adalah kebenaran absolut dan tidak dapat dipungkiri dengan alasan apapun. Tanpa “membaca”, mustahil seorang bayi dapat mengenali ibunya sekalipun. Mustahil, umat mengenal Nabi dan Tuhan-Nya.
Meskipun demikian, tulisan ini bermaksud mengupas lebih komprehensif istilah “membaca” yang sering dipersempit oleh mayoritas masyarakat. Padahal, istilah tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari segala bentuk perilaku dan keseharian manusia itu sendiri. Tentunya dengan satu catatan, “membaca” tidak lagi diartikan sebagai proses mengenal tulisan yang tercoret pada selembar kertas.
Membaca haruslah bermakna suatu upaya mengenal “semuanya”. Termasuk, segala hal yang tergurat pada pecahan puzzle kehidupan secara menyeluruh. Pasalnya, membaca merupakan perintah pertama yang disampaikan Alloh SWT sebagai bekal bagi Rosululloh SAW mengarungi beratnya medan dakwah yang diembannya.
Uniknya, Alloh SWT tidak pernah membatasi objek bacaan yang diperintahkan kepada Rosululloh SAW. Hal tersebut secara eksplisit menyatakan secara tegas bahwa, apapun, siapapun, dimanapun dan kapanpun harus selalu menjadi konten dan media bacaan dengan segala kompleksitasnya.
Demikian pula, buku dan kitab saja tidak akan cukup menjadi rujukan dari berbagai corak keberagaman “jalan hidup” yang tidak bisa diseragamkan. Karenanya, proses “berguru & membaca” harus disandarkan pada objek yang tak terbatas.
Kecerdasan “membaca zaman” merupakan satu-satunya harapan bagi manusia untuk mempertahankan eksistensinya. Kemajuan yang dicapai manusia dari berbagai aspek kehidupan, menyiratkan makna kepada para pelaku kehidupan untuk terus meng-uprade kapasitas diri hingga batas yang tidak mungkin lagi terlampaui.
Secara esensial, tidak mungkin ada kata “tidak bisa” bagi mereka yang benar-benar “membaca”. Hanya saja, kecenderungan merasa “cukup” akan pengetahuan menjadi tantangan tersendiri bagi setiap individu. Bahkan, kebiasaan tersebut menjadi problem disetiap generasi manusia.
Penyebabnya, bukan karena rasa tidak percaya pada kebenaran absolut yang di firmankan Tuhan. Tapi lebih diakibatkan sifat materialis dan pragmatis yang cenderung memandang segala sesuatu dengan “mata telanjang”.
Padahal, sesuatu yang abstrak berkali-kali lipat dari jumlah suatu yang kongkrit. Naif rasanya, manakala hadiah kecerdasan yang dianugerahkan Tuhan harus terbuang percuma karena ketidak mampuannya mengamini fiman-Nya.
Wallahu A’lam Bisshowab
Leave a Reply