Oleh: Fairuz Abadi*
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa setiap manusia pasti lebih menyukai hal-hal yang bersifat bersih dibandingkan hal-hal kotor di muka bumi ini. Karena memang bersih itu indah. Bahkan banyak kita temui di tempat-tempat umum plang² yang bertuliskan “Dilarang membuang sampah sembarangan” lebih-lebih di sekolah-sekolah tingkat bawah seperti TK dan SD pasti akan kita temui dinding atau banner bertuliskan “النظافة من الإيمان (Kebersihan sebagian dari Iman)” Hal ini menunjukkan bahwa para guru dan orang tua menginginkan anak² didiknya sudah terbiasa mempunyai pribadi yang bersih sejak kecil, minimal bersih secara dzohiriyah.
Sehingga mereka akan terus terbiasa tumbuh dan berkembang dengan pribadi yang sudah tertanam sifat bersih, yang kemudian hari akan mereka kembangkan juga menjadi pribadi bersih secara bathiniyah.
Dalam kitab-kitab fiqh “bersih” dibahasakan menjadi “bersuci” (طهارة). Sebagaimana disebutkan bahwa طهارة dalam lughatnya adalah النظافة yang artinya “Bersih”.
Dalam hal ini Imam Al-Ghazali membagi Suci menjadi 4 bagian;
- Menyucikan anggota tubuh yang bersifat dzohiriyah dari hadats dan najis. Pengertian “bersuci” secara syara’ sangat banyak penafsiran, diantaranya ialah فعل ما تستباح به الصلاة (Mengerjakan sesuatu yang menjadi sebab diperbolehkannya seseorang melaksanakan sholat) baik suci dari hadats maupun suci dari najis, sehingga dengan sebab bersesuci sholat yang kita kerjakan bisa sah.
Cara bersucipun beragam, cara bersuci dari hadats diantaranya yaitu; whudu’ bagi orang yang hanya hadats kecil seperti BAB & BAK. Mandi Besar bagi orang yang hadats besar seperti keluar mani atau haid bagi perempuan. Tayammum, yaitu cara bersuci ketika sedang dalam keadaan kesulitan menemukan air.
Adapun cara bersuci dari najis adalah dengan membersihkan anggota badan dari najis juga tempat sholat, pakaian yang hendak digunakan sholat, serta perlengkapan lain yang digunakan untuk sholat.
- Menyucikan diri dari perilaku buruk & dosa. Tingkatan ini biasanya muncul dari hati namun pelaksanaannya dilakukan oleh fisik. Seperti mencuri, menfitnah, mengonsumsi narkoba, minum miras, dll. Rosulullah SAW. Bersabda;
إنّ في الجسد مضغة. إذا صلحة صلح الجسد كله، وإذا فسدة فسد الجسد كله. الٓا. وهي؛ القلب.
“Sesungguhnya dalam diri manusia terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka baiklah dirinya. Dan jika segumpal daging itu buruk, maka buruklah dirinya. Segumpal daging itu adalah Hati.
Sabda nabi diatas, ada kaitannya dengan tingkatan menyucikan diri yang kedua ini. Bahwa setiap kebaikan dan keburukan yang kita lakukan awal permulaannya ditimbulkan dari hati kita masing-masing, oleh karenanya jika kita ingin menyucikan diri dari keburukan dan kejahatan maka perlulah dimulai dengan membenahi hati kita terlebih dahulu.
- Membersihkan hati dari akhlak tercela. Yakni membersihkan segala penyakit-penyakit hati seperti sombong, iri, dengki, ujub dan semacamnya. Karena memang risalah terutusnya Rasulullah pada kita selaku ummatnya untuk menyempurnakan akhlak, oleh karenanya cara untuk menghilangkan sifat-sifat tercela tersebut diantaranya dengan meniru perilaku-perilaku baiknya serta menghindari hal-hal yang dapat menjerumuskan pada keburukan tersebut, Sabda beliau;
إنما بعثتُ لأُتمّم مكارم الاخلاق
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”
- Membersihkan hati dari selain Alloh. Dalam artian kita betul-betul memasrahkan sepenuhnya diri kita pada Alloh, bergantung hanya kepadanya, serta tidak menyekutukannya alias syirik.
Terdapat 2 hal yang terkandungan dalam 4 tingkatan penyucian diri di atas. pertama تخلية yang artinya membersihkan, kedua تهلية yang artinya menghiasi. Maksudnya adalah dalam pelaksanaan penyucian diri tidak hanya cukup dengan membersihkan diri saja, namun juga perlu menghiasinya. jadi tidak hanya meninggalkan yang munkar seperti tidak mencuri saja, tidak sombong, dan tidak syirik, namun juga harus melaksanakan yang ma’ruf seperti melaksanakan kethoatan dan mendekatkan diri pada Alloh.
*Penulis adalah Mahasiswa Prodi BPI Angkatan 2020