Oleh: Moh. Toyyib*
Semua orang mukallaf memiliki kewajiban untuk belajar ilmu agama sebagai bekal melaksanakan perintah Allah demi mencapai kehidupan yang bahagia, dunia maupun akhirat. Ilmu syarat mutlak Bagi siapapun yang menghendaki kehidupan sebagaimana telah digariskan oleh Allah yang termaktub dalam kalam-Nya dan ajaran yang disabdakan Nabi-Nya.
Namun demikian, ilmu agama tidak bisa diperoleh dengan hanya membaca buku atau kitab. Akan tetapi harus talaqqi, belajar secara langsung kepada para ulama yang dipercaya. Hal ini seperti yang menjadi tradisi di dunia pesantren. Al-Hafizh Abu Bakar al-Khathib al-Baghdadi berkata:
.
لا العلم لا اه العلماء
“Ilmu tidak dapat diperoleh kecuali dari lidah para ulama”
Sebagian ulama salaf berkata:
الذي يأخذ الحديث من الكتب يسمى صحفيا، والذي يأخذ القرآن من المصحف يسمى مصحفيا ولا يسمى قارئا
”Orang yang memperoleh hadits dari buku (tanpa berguru) disebut shahafi (pembuka buku). Orang yang mengambil al-Quran dari mushaf, disebut mushafi (pembuka mushaf), dan tidak disebut qari’ (pembaca al-Quran)”.
Mengapa dalam ilmu agama harus belajar melalui seorang guru, dan tidak cukup secara otodidak? Hal ini didasarkan pada hadits-hadits berikut ini.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
يا أيها الناس تعلموا فإنما العلم بالتعلم والفقه بالتفقه.
“Wahai manusia, belajarlah ilmu. Karena sesungguhnya ilmu hanya diperoleh dengan belajar dan pengetahuan agama hanya diperoleh dengan belajar melalui guru”. (Hadits hasan).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
من ال القرآن برأيه اب فقد
“Barangsiapa berpendapat mengenai al-Quran dengan pendapatnya sendiri, lalu pendapat itu benar, maka ia telah benar-benar keliru”.
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
من قال في القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار
“Barangsiapa yang berpendapat mengenai al-Quran dengan pendapatnya, maka bersiaplah menempati tempatnya di neraka”. (Hadits shahih).
Hadits-hadits di atas memberikan pengertian keharusan berguru dalam ilmu agama. Bukan dipelajari secara otodidak dari buku dan Google.
Berdasarkan paparan di atas, orang yang belajar ilmu agama secara otodidak atau belajar kepada kaum orientalis tidak bisa dikatakan sebagai orang yang alim, akan tetapi disebut sebagai bahits, peneliti dan pengkaji. Orang semacam ini tidak boleh menjadi rujukan dalam agama.
Wallahu a’lam.
*Penulis adalah Alumni BPI angkatan 2017