Oleh: Moh. Toyyib
Islam adalah agama elastis sesuai situasi dan kondisinya.peraturan yang tidak paten dengan tujuan Mudah dikerjakan oleh pengikutnya. Alloh sebagai Penguasa selalu mempermudah hambanya dalam melakukan segala perintahnya, tidak pernah ditemukan bahwa Alloh menyulitkan hambanya dengan segala kebijakan yang diberikan.
Alloh tidak ingin membebani pengikutnya dengan suatu hal yang menurut mereka tidak mampu untuk dikerjakan. Sebagaimana termaktub dalam kitab Suci Al Qur’an
“Allah tidak memaksa sesuatu melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya”, (QS. Al-Baqoroh: 286)
Jika kita telaah bersama Alloh dengan sifat ar Rohman Ar Rohimnya menghendaki kemudahan dengan adanya dispensasi/Rukhsoh dari ketentuan asalanya. Dalam situasi dan kondisi yang tidak Dzarurot kita dituntut untuk mengerjakan sesuai ketentuan asalnya. Beda lagi kalau dalam posisi Dzarurot maka Alloh meberikan dispensasi atau Rukhsoh. Begitulah cara Alloh memaklumi hambanya agar tidak terjebak pada peraturan tanpa solusi.
Terbukti Allah mempermudah dalam semua urusan hambanya termaktub dalam Al quran surah Al Baqoroh
“Allah memudahkan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu“.
Karena itu, tidak ada dalam kebijakannya di luar kemampuan pengikutnya.
Banyak contoh yang bisa kita lihat, sebagaimana yang kita ketahui. Sholat itu harus dikerjakan berdiri tegak, tapi peraturan asal tersebut gugur bagi orang yang tidak mampu berdiri maka ia diberi kemudahan untuk mengerjakannya dengan duduk, berbaring atau bahkan hanya berisyarat.
Kemudahan Allah Swt berupa keragaman pandangan para ulama dalam masalah fikih. Dua ulama saja misalnya, sudah sangat mungkin pandangan keagamaannya tidak seragam, apalagi banyak ulama. Bahkan perbedaan pandangan itu sejatinya tidak hanya terjadi di kalangan para ulama, tapi juga di kalangan para shahabat sendiri dan disaksikan Kanjeng Nabi Muhamad secara langsung.
Di kalangan para imam fikih, misalnya, pandangan Imam Malik bin Anas (w. 179 H) selaku guru, dengan pandangan Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204 H) selaku murid, itu seringkali berbeda. Pandangan Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i selaku guru dan pandangan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) selaku murid, juga kerapkali tidak sejalan. Bahkan dalam internal mazhab saja, acap kali antara ulama yang satu dengan yang lain, juga berbeda.
Itulah hikmah perbedaan, sebagai rahmat bagi umat. Melalui keragaman, umat Islam bisa menyeleksi dan memilih mana pandangan yang sesuai kebutuhan dirinya, masyarakatnya dan konteks sosialnya, sehingga ajaran Islam benar-benar shalih li kulli zaman wa makan