Berdakwah; Antara Mengajak dan Mengejek

Oleh: Mastur*

Diskursus mengenai paradigma dakwah pasti tak lepas dengan kata”mengajak”. Karena kata “mengajak” sangat berbeda, bahkan bisa dikatakan sangat berlawanan sekali dengan kata “mengejek”. Mangajak mengisyaratkan tidak otoriter, santun, ramah, lemah lembut dan didalamnya penuh sejuta kearifan. Sedangkan kata mengejek sudah jelas maknanya tanpa perlu dipaparkan secara panjang lebar.

Da’i sebagai dalang utama kegiatan dakwah harus mengambil peran moderat dengan menjunjung tinggi nilai – nilai kemanusiaan. Serta konten – konten dakwah yang disuguhkan harus mengedepankan ajakan, bukan ejekan, disampaikan secara ramah bukan marah, mampu membumikan nilai – nilai keislaman dalam konteks kekinian bukan perpecahan, mengoptimalkan narasi ajaran agama secara sistematis tanpa terkotak – kotak sesuai dengan realitas aktual di lapangan. Sehingga, kegiatan dakwah yang digalakkan bisa memberikan kontribusi besar terhadap peradaban keislaman. khususnya moral umat yang kian merosot secara signifikan.

Sungguh ironis, jika Da’i dan kemasan dakwah yang dibawa tidak mampu mempelopori penyajian informasi yang sejuk dan damai. Apalagi memberikan kesan bahwa islam “sangar” seperti yang sering digembar-gemborkan oleh kolompok radikal dengan gerakan dakwahnya yang cenderung eksklusif dan intoleran yang bertopeng haluan islam militan. Ini sangat berbahaya dan harus “dibumi hanguskan”.

Memang berat membungkus kegiatan dakwah tanpa adanya kecacatan, baik dari Da’i atau pesan yang ingin disampaikan. Serta dakwah yang kita suguhkan mudah diterima publik untuk dijadikan pijakan yang tidak plinplan. Apalagi sekarang banyaknya spekulasi dan propaganda yang siap membentur dan merusak citra dakwah. Acap kali bisa merobohkan dan mendongkrak dakwah yang dibangun dengan dasar yang kurang kokoh dalam pijakan.

Ketika dakwah tidak mampu menghadang laju umat yang jauh dari tuntunan agama, tidak bisa mengikis stigma negatif karena dakwah lebih didominasi dengan pendekatan kekerasan, paksaan, emosional dan penyampaiannya lebih cenderung pada dogma provokasi. Maka, wajah Islam ramah, penuh dengan kelembutan akan terlihat agak buram bahkan tidak bisa terlihat. Inilah tugas utama bagi para Da’i untuk tidak mencederai dakwah dari dalam dan tidak menyakiti publik dengan “ajakan” yang berasa “ejekan”.

Bisa dikatakan, berdakwah adalah kebebasan bagi siapapun dan dimanapun. Namun, harus mengacu pada pedoman dakwah ‘ala Rasulullah Saw. Serta berpatokan pada norma agama Islam. Tidak kalah pentingnya, berdakwah harus sesuai kadar kemampuan dan kebutuhan. Rosulullah saja menyampaikan dakwahnya dengan bentuk taktik metodik dan strategi yang jelas. Beliau berbicara sesuai dengan kebutuhan lawan bicaranya. Alhasil, beliau mampu berdakwah tanpa ada orang yang merasa “didakwahi” apalagi dipaksa untuk tunduk dan mematuhi.

Terima kasih somoga bermanfaat.

*Penulis adalah mahasiswa BPI angkatan 2021


Posted

in

by