
Oleh: Bahrur Rosi
“Kepemilikan” terhadap sanad yang jelas dan bersambung kepada orang-orang yang “diakui” keilmuannya merupakan salah satu keharusan yang mesti terpenuhi untuk memaksimalkan pencapaian dakwah. Pasalnya, dakwah bukanlah kegiatan yang hanya bertumpu pada pengetahuan teoritis semata, namun juga kematangan spiritual yang bisa terpancar dalam wujud kesalehan sosial.
Hal tersebut menjadi landasan utama bahwa seorang da’i harus lahir dari “rahim” yang jelas asal-usulnya. Da’i tidak boleh ujug-ujug pegang peranan penting dalam dakwah tanpa adanya kematangan proses yang mu’tabarah sebagaimana telah digariskan oleh salafus Sholeh.
Tulisan ini tidak bermaksud membatasi ruang bagi siapapun untuk ambil peranan, namun lebih pada kehati-hatian dari tercederainya kesucian dakwah sebagai pengemban misi membumikan risalah.
Hanya saja, perlu disadari, dakwah bukanlah kegiatan yang bisa dilakukan “sambil lalu” oleh semua orang. Dakwah harus dilandasi pengetahuan dan pengalaman yang mumpuni di berbagai bidang untuk setidaknya memberikan teladan kepada mitra dakwah.
Pun demikian, ketersambungan sanad tersebut harus ditunjang kompleksitas kemampuan da’i dalam berbagai bidang, terutama yang terintegrasi langsung dengan kegiatan dakwah, baik dari segi konten, metode dakwah maupun kredibilitas da’i itu sendiri.
Akan tetapi, perlu juga diingat, dakwah merupakan suatu kebutuhan yang tidak bisa ditunda-tunda. Semua orang mukallaf “harus” ambil peranan dalam kegiatan ini sesuai dengan kapasitas keilmuan dan bidang keahlian masing-masing. Meskipun hal tersebut baru bisa dilakukan apabila memenuhi syarat, da’i tersebut telah selesai menunaikan kewajiban sebagai “orang pertama” yang harus memberikan teladan tentang apa yang di-dakwah-kan.
Namun demikian, harapan besar tidak bisa dibebankan pada da’i dengan “kapasitas seadanya” sebagaimana dimaksud. Pasalnya, dakwah memang tidak bisa dilakukan “orang biasa”, karena tantangan yang dihadapi bukanlah perkara mudah yang bisa diselesaikan hanya dengan berpangku tangan.
Alhasil, sebagai kesimpulan sementara, da’i mesti memiliki “semua hal” terbaik yang bisa diupayakan untuk memunculkan kepercayaan kepada mitra dakwah dalam menerima konten dakwah dengan tangan terbuka.