Oleh: Bahrur Rosi
Setiap manusia dituntut untuk meng-upgrade kemampuan diri untuk menjalankan tugasnya, baik sebagai individu atau bagian dalam komunitas tertentu. Sebagaimana maklum, manusia dan beragam problematika kehidupan bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling membutuhkan untuk eksistensi masing-masing.
Atas dasar itulah, peningkatan kapasitas diri atau biasa dikenal capacity building menjadi suatu keharusan. Beragam rasa khawatir akan berbagai macam hal, bukanlah suatu yang mesti beriringan dengan kesempatan “menyelamatkan” diri. Boleh jadi, hal tersebut malah menuntut untuk disikapi dengan kematangan diri.
Capacity building itu sendiri biasa diartikan sebagai upaya memperkuat kapasitas individu, kelompok atau organisasi yang dicerminkan melalui pengembangan kemampuan, ketrampilan, potensi dan bakat serta penguasaan kompetensi-kompetensi untuk mengatasi tantangan untuk pencapaian yang lebih baik.
Dalam hal ini, capacity building dapat diterjemahkan sebagai proses meningkatkan kemampuan pengetahuan dan keterampilan (skills), sikap (attitude) dan perilaku (behaviour) dari SDM da’i. Pasalnya, ketiga hal tersebut menjadi bekal paten bagi da’i untuk menampilkan wajah Islam yang benar-benar rahmah.
Bahkan, orientasi definisi tersebut harus “terinstall” secara komprehensif kepada para da’i muda yang baru menginjakkan kaki di medan dakwah. Suatu medan terjal yang tentu penuh onak berduri yang siap “menyakiti” siapapun dengan kemampuan pas-pasan.
Pun demikian, kemampuan dibawah standar minimal hanya akan menyengsarakan kita dikemudian hari. Tak mungkin perkembangan dunia yang begitu pesat menunggu kita yang stagnan di zona nyaman. Hal ini juga berlaku dalam realitas dakwah, bahkan tentu lebih kejam dari dunia hiburan yang penuh ke-berpura-pura-an.
Upgrade kemampuan sebagaimana konsep capacity building menjadi salah satu solusi untuk mengikis jarak antara keterbatasan kita dengan meningkatnya tuntutan zaman. Pasalnya, para da’i dituntut mampu menciptakan model dakwah yang relevan dengan “gaya hidup” milenial.
Da’i tidak boleh hanya menjadi penunggu mimbar untuk memberikan pencerahan. Bahkan, da’i harus mampu memanfaatkan setiap momentum menjadi wahana potensial untuk transformasi ajaran Islam sesuai dengan tuntutan zamannya. Dengan catatan, tidak boleh membuat ajaran tersebut tercerabut dari akar yang telah ditetapkan.
Lumrah memang, sebagaimana ditakdirkan, da’i akan selalu menjadi “tokoh antagonis” dalam upayanya menciptakan rekayasa sosial. Setiap da’i pasti bersinggungan dengan “ketidak nyamanan” sikap dari orang-orang yang merasa terusik dengan kehadirannya.
Disinilah perbedaan kapasitas akan menjadi pembeda antara mereka yang benar-benar expert di bidangnya dengan mereka yang hanya berlindung dibalik ketidak mampuannya mengamini tuntutan kenyataan.
Alhasil, capacity building harus diarahkan untuk meningkatkan potensi da’i mencapai tujuan mereka sebagai pengemban misi dakwah Rosululloh SAW. Dakwah tidak lagi cukup sekedar transformasi ajaran secara parsial dengan mengkambinghitamkan keterbatasan manusia.